WIDARNI ASSYURA
CAPUNG
Seekor capung berusaha keras mengepakkan sayapnya
untuk bisa hinggap di dinding, tapi gagal, mungkin datangnya malam membuat
kedua matanya silau gelagapan untuk hinggap …
Entah capung ini, lupa jalan pulang ke tempatnya, atau dia tertinggal dari golongannya, sehingga kemalaman. Tapi cahaya lampu listrik dari sebuah kamar itulah yang membawanya masuk ke sebuah rumah mewah. Capung itu berusaha lagi menggerakkan sayapnya ke dinding sebuah kamar yang acak-acakkan. Mulanya capung itu terbang dan hinggap di dinding kamar tamu, tapi mungkin di situ dilihatnya ada seekor kucing yang mengendap-ngendap, untuk menangkapnya. Dia tak tahu ketika terbang lagi, ia sudah berada di kamar ini… ya mungkin lagi-lagi, sinar lampu itu yang menuntunnya ke sini. Tapi kali ini dia gagal untuk hinggap di dinding dan jatuh tepat di muka seorang pemuda dua puluhan tahun… ya mungkin kecapaian terbang dari pagi tadi.
“Brengsek…!” Tomi menepis keras-keras makhluk kecil yang jatuh di matanya itu, tapi melesat tepisan Tomi. Capung itu keburu terbang dan hinggap di dinding kamar.
“Semua orang membenciku dan selalu menentang keinginanku. Tidak ibu-bapak-lah, guru di kuliah-lah teman-teman… Bull shit…!” Kini capung itu terbang lagi dan hinggap di jendela, ia memang tak sengaja memasuki kamar yang nggak beraturan ini dan tak bisa keluar dari dalamnya.
“Ha ha ha …. Di sini ya…kau rupanya bisa ngumpet” Tiba-tiba saja Tomi tersenyum.
Secepat kilat dengan gesitnya untuk menangkap capung itu., tapi gagal lagi. Entah capung ini, lupa jalan pulang ke tempatnya, atau dia tertinggal dari golongannya, sehingga kemalaman. Tapi cahaya lampu listrik dari sebuah kamar itulah yang membawanya masuk ke sebuah rumah mewah. Capung itu berusaha lagi menggerakkan sayapnya ke dinding sebuah kamar yang acak-acakkan. Mulanya capung itu terbang dan hinggap di dinding kamar tamu, tapi mungkin di situ dilihatnya ada seekor kucing yang mengendap-ngendap, untuk menangkapnya. Dia tak tahu ketika terbang lagi, ia sudah berada di kamar ini… ya mungkin lagi-lagi, sinar lampu itu yang menuntunnya ke sini. Tapi kali ini dia gagal untuk hinggap di dinding dan jatuh tepat di muka seorang pemuda dua puluhan tahun… ya mungkin kecapaian terbang dari pagi tadi.
“Brengsek…!” Tomi menepis keras-keras makhluk kecil yang jatuh di matanya itu, tapi melesat tepisan Tomi. Capung itu keburu terbang dan hinggap di dinding kamar.
“Semua orang membenciku dan selalu menentang keinginanku. Tidak ibu-bapak-lah, guru di kuliah-lah teman-teman… Bull shit…!” Kini capung itu terbang lagi dan hinggap di jendela, ia memang tak sengaja memasuki kamar yang nggak beraturan ini dan tak bisa keluar dari dalamnya.
“Ha ha ha …. Di sini ya…kau rupanya bisa ngumpet” Tiba-tiba saja Tomi tersenyum.
“Hah…awas kamu ya…kalau ketangkap …kuremas-remas tubuhmu, yang mirip kapal terbang itu…” kini Tomi berusaha menangkap capung itu lagi.
“Ha kena kau…!” kini capung itu sudah ada digenggamannya. Melihat kelemahan capung itu, Tomi tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha ha ….!” Tidak seorang pun yang boleh melarang dan menentang keinginanku…! Selamanya… apalagi kau, binatang busuk…!” Ujarnya pongah dengan mata berkilat-kilat.
Sekejap Tomi memencet kepala capung itu, lalu membiarkannya di atas lantai… sepontan tubuh capung itu hanya bergeliat… mungkin menahan rasa sakit; ya hancur kepalanya.
Malam itu Tomi melewatkan adzan Maghrib dan Isya’ di atas tempat tidurnya yang luas. Kepalanya terasa teramat berat membuatnya segera terpulas. Matahari sudah tinggi tatkala Tomi membuka sebelah matanya. Dengan malas digerakkan tangannya ke samping menggapai jam beker berbentuk segi empat di atas meja di sisinya.
“Sembilan empat puluh…” lirihnya sambil mencoba bangkit, diurutnya kepalanya yang pening. Dengan tubuh malas lagi sempoyongan, ia menuju kamar mandi.
Entah mengapa ia merasa seisi perutnya seperti diaduk-aduk. “Hueek…!” Tomi memuntahkan isi perutnya di kamar mandi.
“Bir murahan, sialan…” makinya dalam hati sambil tak lupa menyumpahi warung kecil, tempat ia membelinya dua hari yang lalu.
Dengan pandangan miring ia keluar dan berjalan ke dekat jendela.
“He he… sudah kaku rupanya tubuhmu...” ucap Tomi sambil tersenyum.
“Hah… bangkaimu mengundang semut-semut ini” diangkatnya capung itu lalu disentilnya dengan jarinya yang kehitaman.
Tubuh capung yang sudah jadi bangkai tersebut melayang keluar jendela, mendarat lembut di atas tanah yang berumputan.
“Bi…bi Inah…!” Tomi berteriak memanggil bi Inah, pembantu rumahnya, tidak berapa lama datang tergopoh-gopoh seorang perempuan tua berbadan gemuk sambil tersenyum.
“Ya, Den… ada apa?” tanyanya.
Tomi mengaruk-nggaruk rambutnya yang semrawut.
“Bi kapan ibu dan bapak kesini, sudah dua minggu ini tidak ada kabar… aku butuh uang buat… hegkk…!” suara cegukan dari mulutnya, kekenyangan akibat banyak minum bir. “Ya buat beli bir… berpesta ria bersama teman-teman.”
Perempuan yang sudah berambut putih itu tertunduk mengangguk.
“Oh ya den… ibu kemarin telephon… di lemari kamar ibu ada ATM silahkan gunakan seperlunya aja, tapi jangan dihabiskan itu pesan ibu, kalau bisa aden cepat aja nikah dari pada gonta –ganti pasangan.” Ucap bi Inah dengan menunduk.
“Ah cerewet betul…mereka aja gagal membina rumah tangga mereka, ya… aku inilah korbannya” Kata Tomi dengan suara tinggi
“Emangnya enak nikah… ngurusin istri, ini itunya akh… muak banyak ribetnya” sesumbar Tomi pongah.
“Tapi den…kasihan cewek-cewek yang aden Tomi gandeng… mereka juga wanita seperti saya ini. Yang inginkan kedamaian dalam rumah tangga…” ujar bi Inah.
“ya udah bi! saya mau mandi” kata Tomi bangkit dari tempat tidurnya.
“Den… tadi ning Sari, nelpon lagi nanyain kapan aden siap datang ke rumah untuk melamar.” Ujar bi Inah.
“Hah.. perempuan itu lagi…!” ujar Tomi sambil mengalungkan handuk di lehernya. “Ya makasih bi.” Perempuan tua itu bergegas meninggalkan kamar Tomi, anak juragannya.
Bi Inah menyayangkan sifat Tomi yang banyak berubah. Memang dari kecil dia jarang diperhatikan orang tuanya, bi Inah-lah yang banyak mengasuhnya. Tapi semenjak Tomi masuk SMP, bi Inah tidak mampu lagi mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat. Karena pengaruh pergaulan dengan teman-temannya lebih kuat dari pada nasehat bi Inah.
Sesudah menyantap masakan bi Inah di atas meja, Tomi buruan keluar dengan membawa tas kecil.
“Hmm….” Tomi tersenyum menatap matahari yang telah tinggi.
“Hebat kamu Tomi.. kamu kuat, ganteng, anak orang kaya dengan mudahnya kau mendapatkan kawan-kawan. Hah… apalagi cewek-cewek yang sok jual mahal…!” sambil mengepalkan tangannya dan tersenyum puas siang ini beribu rencana sudah ada di benaknya dengan sekali engkolan “RX King” berwarna merah kehitaman itu melejit dengan cepatnya.
Siang itu udara di kotanya cukup panas, karena dengan semangatnya matahari memancarkan sinarnya ke bumi…mungkin saking sebelnya dengan macam tingkah laku perbuatan dosa manusia di atas muka bumi ini.
Tak terkecuali tingkah laku Tomi… jika tidak ada segolongan mereka yang taat, yang berjuang dan berdakwah untuk menegakkan dan meluruskan agama Allah… mungkin matahari itu akan membakar bumi dan seisinya. Apalagi seperti kota yang ditinggali Tomi ini.Sudah tidak saling toleransi terhadap sesama penghuninya.
Begitu banyak orang peminta-minta mengharap uluran tangan kepada orang yang memborong barang-barang dari sebuah super market mewah, dan orang yang naik Mercy dan BMW. Betapa kaya negerinya, tapi hasil alamnya dan nikmat kemerdekaannya hanya dirasakan oleh beberapa orang saja, masih banyak orang yang belum sempat merasakan nikmatnya bumi pertiwi ini. Memang betul apa yang dikatakan Franky. S. dan Iwan Fals lewat lagunya dalam sebuah bait “tanah pertiwi…anugerah Illahi… jangan makan sendiri…”
Betapa banyak anak yang putus sekolah…karena mahalnya biaya sekolah. Dasar manusia kalau sudah kaya dan menjadi orang penting lupa dengan orang yang di bawahnya.
”Kepalang… saya udah begini… rusak. Aku ingin coba ikut menjajakan bubuk putih; heroin dan sejenisnya untuk tambahan buat kesenanganku. Aku tak ingin rusak sendirian seperti ini…” Ucap Tomi dalam benaknya.
”Aduh…brengsek!” seekor capung menampar matanya.
Entahlah kenapa hari ini banyak sekali capung beterbangan di jalan. Sebuah mobil memotong jalan, dengan gelagapan Tomi mengerim, tapi ban motornya sudah duluan membentur mobil itu.
“Brakkk…!” spontan Tomi sudah terpelanting ke samping bahu jalan tak sadarkan diri. Darah segar menghiasi jalan itu.
Sudah 5 jam, bi Inah di samping Tomi mengguinya sejak tadi sore.
”Ya… Allah… Gusti-ku!” Bibir bi Inah dengan lembutnya berdzikir.
Tomi tak sampai geger otak tapi luka di kaki dan tangannya cukup parah, sedangkan kepalanya luka ringan masih terlindungi helm yang dipakainya. Dokter mengatakan dalam beberapa jam akan siuman.
Malam kian larut bi Inah kecapaian menunggui anak majikannya… kini tertidur disebuah kursi disisi ranjang Tomi.
Malam begitu sepi, suasana rumah sakit begitu tenang walaupun tercium bau anyir, luka di tubuh pasien yang siang tadi mendapat musibah. Sesekali suara jangkerik memberikan isyarat… agar manusia ingat kepada Sang Penciptanya, setelah seharian manusia disibukkan urusan dunia.
“Krikkk… Krikk“ Ya mungkin itulah cara jangkerik bertasbih memuji kebesaaran Allah. Tomi terlentang tak berdaya di ranjang yang bersprei putih, ia belum juga sadar dari pingsannya. Semuanya kelihatan serba putih seakan mengingatkan kematian.
Ruh Tomi kini meninggalkan alam nyata. Ya, Tomi masih tertidur, tertidur pingsan Ya… Annaumu Akhul maut.
Ruh Tomi bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju cendela “Hai...!“ teriaknya kencang, sambil membuka lebar daun jendela kamarnya. Sepi tidak ada siapapun diluar.
Tomi merasakan keringat dingin mengaliri setiap persendiannya. Tiba-tiba dari sisi jendela, terbang berbondong-bondong capung mendekatinya puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Tomi terpana dengan pemandangan didepan matanya.
“Mari teman-teman, kita bawa dia. “ teriak salah satu capung memberi komando.
Tomi mengucek matanya, belum sempat berpikir apapun, ia merasakan tubuhnya tiba-tiba menjadi ringan. Capung-capung itu, yang ratusan banyaknya; mencengkram dan menggigit tubuhnya dari segala sisi.
Termasuk luka-luka tabrakan tadi siang. Tomi meronta ia merasa kesakitan saat di antara mereka mencengkram rambut dan tangannya yang penuh luka, dengan kaki-kaki lembut mereka. Salah satu mereka menggigit luka dikakinya dengan giginya yang mungil. Tomi ingin berteriak, namun suaranya tak dapat keluar.
Capung-capung itu terus membawanya pergi meninggalkan kamarnya melintasi kebun luas di belakang rumah menuju ke tengah-tengah suatu tempat yang selama ini belum dia kenal. Jauh……… jauh dari rumah. Mereka membawa Tomi ke markas dimana capung-capung itu berkumpul.
“Lepaskan aku!” teriak Tomi.
Akhirnya capung-capung itu melepaskan melepaskan cengkeramannya. Tomi jatuh berdebum di tanah yang penuh dengan kerikil. Ia memaki namun makiannya, terpotong saat dirasakan bumi tempat berbijaknya bergetar hebat.
“Oh… Oh…!” Tomi terperanjat di depannya seekor serangga lain yang amat besar dan tinggi datang mendekat. Mata yang ada dikepalanya itu bercahaya dengan sangat terang hingga menyilaukan kedua mata Tomi.
“Kau pembunuh…!” ucap makhluk itu, sambil mengarahkan kaki depannya ke arah Tomi.
“Pembunuh, penyiksa!” Capung-capung lain mengikutinya. Tomi menggelengkan kepalanya
“Tiiidak… aku tidak membunuh siapapun“ teriaknya dengan tergagap.
“Pembunuh… dia harus disiksa, dia juga berniat menghancurkan orang-orang baik dengan bubuk-bubuk putih…!“ teriak seekor capung menimpalinya.
Tomi mendekap lututnya ketakutan.
“Tidak...! Tidak...! aku belum pernah melakukan itu.” Ucapnya menghiba.
“Lalim! Perampas hak hamba Allah! Pembunuh…!” suara-suara capung itu berdengung bergantian ditelinganya.
“Siksa dia… ia telah melecehkan wanita juga…“ teriak capung yang lain.
“Manusia macam apa dia“
Ini pasti mimpi… ya tentu saja pikir Tomi. Sebab tidak mungkin capung-capung dan serangga itu bisa berbicara seperti manusia. Tomi mengerjapkan matanya.
“Ha… Ha… Ha… lihat teman-teman dia sangat lemah!” suara seekor capung.
“Ia begitu sombongnya ketika ia sehat ha… ha… ha..“ sahut capung yang lain.
Tomi mencoba berdiri dengan kedua kakinya yang penuh luka. Ops! lagi-lagi dia jatuh.
“Ini mimpi kan…?!“ teriak Tomi.
“Suatu kebaikan bukanlah mimpi disiang bolong, kejahatanmu akan terbalas juga!” suara raja capung menggema.
Tomi melangkah mundur kali ini ia merasa takut setengah mati.
“Kita siksa dia… bagaimana sakitnya disiksa!” ucap seekor capung.
“Kita hajar dia bagaimana sakitnya dibohongi oleh pembohong seperti dia.” Ya.. ya teriak capung yang lain.
Tomi semakin takut ia membalikkan tubuhnya kini mulai berlari dengan kesakitan disepanjang lorong gundukan tempatnya berdiri tadi.
“Tidak... tidak… jangan… jangan...“ teriaknya.
Ratusan capung mengejarnya. Tapi Tomi sudah dihadang oleh serangga raksasa itu. Ia berhenti dari larinya serta menutupi kedua matanya yang kini mengalir darah akibat cahaya yang amat terang dari mata serangga itu, ia mengerang kesakitan.
“Tidak… Tidaaaaak...“ teriaknya.
“Tidak… tidak” Tomi terbangun dari pingsannya sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan nafasnya tersengal.
“Den… den… Tenang.” Ucar bi Inah sambil meletakkan Al-Qur’an yang dibacanya.
“Alhamdulillah, Gusti Allah… suwun, den Tomi telah sadar dari pingsannya“ bibir perempuan tua itu mengucap syukur.
Nafas Tomi masih naik turun. Ia memandang bi Inah.
“Sudahlah den, jangan difikirkan itu cuma mimpi tenanglah, dokter bilang jangan banyak bergerak jika ingin cepat sembuh.” Ucap bi Inah.
“Ibu bapak mana bi… mana mereka…!” Tanya Tomi lemah.
“Ibu sudah saya telpon den janjinya akan kesini nengok aden. Kalau bapakmu… tidak ada dirumahnya.” Ujar bi Inah lirih.
“Mbok nggak tau den dimana mereka.”
Bayangan mata bi Inah kini kembali mengenang peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang silam. Sebuah pertengkaran yang membuat rumah tangga pak Rahmat dengan bu Indah istrinya, gara-gara saling menudingkan kesalahan mereka dengan hadirnya orang ke tiga dalam kehidupan mereka masing-masing. Waktu itu dengan ringannya pak Rahmat mendaratkan telapaknya dimuka istrinya.
Itulah yang membuat retaknya rumah tangga mereka dan akhirnya perceraian itu terjadi juga. Kontan saja yang menjadi korban akibat sikap arogansi mereka adalah Tomi anak mereka satu-satunya.
Mulai saat itulah Tomi kehilangan figur untuk diikutinya, bingung ayah atau ibunya dia ingin ikut siapa, tapi hingga kini keduanya belum menikah lagi.
Akibatnya perhatian bapak ibunya kurang didapatkan. Lingkungan dan pergaulan-nyalah yang membentuk kepribadiannya hingga kini.
“Bi… mana Jack, Diki, Sam, teman-temanku yang sering kerumah.” Ucap Tomi lirih. “Mana mereka bi..? yang biasa mengajakku ke diskotik bermain dengan bir.” Ucap Tomi sambil menangis.
“Mana Santi, Lusi, yang tiap liburan menemaniku.” Teriak Tomi.
“Tuhan bunuhlah aku… aku tak sanggup akan penderitaan ini dengan kesendirianku“ ucap Tomi menghiba.
“Wajahku kini menjadi jelek penuh luka-luka.”
Mendengar kata-kata Tomi, mata bi Inah berkaca-kaca tak terasa butiran-butiran hangat membasahi pipinya yang mulai keriput. “ Ya Allah… kuatkanlah dia!”
#####
Sudah tiga malam ini capung-capung itu datang dalam tidur Tomi, mereka selalu mendengungkan kata-kata itu dan mengejeknya.
“Hai pembunuh…! kini rasakan ulahmu!” ucap seekor capung kini ratusan capung terbang mengitari pembaringannya.
“Mau apa kalian…hah, pergi…pergi…“ ia mengebatkan kain yang menyelimuti tubuhnya.
Tomi kian panik dihalaunya binatang-binatang itu. “ Hush… hush… pergi sana.” Tomi mulai kelelahan dan kesakitan.
“Ha…ha…manusia keji.” Kata seekor capung. “Kejarlah daku… kalau bisa… kan ku jitak kau!” ucap capung yang lain.
Capung-capung itu lari dan tertawa-tawa berputar, terbang mengelilingi Tomi dengan penuh ejekan. Memang Tomi betul-betul tidak berdaya. Kini ia menyerah dengan makhluk-makhluk kecil itu.
Kejadian-kejadian yang sama dalam tidur Tomi di ceritakan kepada bi Inah yang setia mengasuhnya dan menemaninya dari kecil. Bi Inah hanya terharu, mungkin kinilah Tomi saatnya untuk berubah seperti Tomi kecil yang dulu lucu dan periang.
Bi Inah terdiam matanya tertuju keluar. Tomi duduk dari ranjangnya dan ikut melihat pemandangan diluar jendela. Ya…! Disana ada sebuah taman yang indah tumbuh pepohonan dan bunga-bunga yang mekar. Disitu dilihatnya beberapa ekor capung berkumpul menari dan terbang mengitari bunga-bunga itu. Dua butiran bening jatuh di pipi Tomi yang masih penuh dengan luka-luka yang mulai mengering.
“Alangkah indahnya dan damainya… hidup seperti mereka. Bahagianya hidup di bawah naungan rahmat Ilahi.” Ya… Capung-capung itulah yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya.” Betapa jauh sekali aku dari rahmat-Nya.
Sebenarnya, nikmat-Nya yang diberikan padaku begitu besar selama ini. “Oh… Tetapi mengapa aku tidak pernah menyadari dan selalu mengkufuri nikmat-Nya.” Ucap Tomi dengan air mata mengalir dipipinya.
Kini Tomi mendengar kata-kata capung di taman itu sebagaimana dimimpinya, capung-capung itu mendengungkan kata-kata, “Lihatlah… hari esok yang bakal kita hadapi bersama. Semoga ia menjanjikan ketenangan dan kedamaian yang kita cari.”
daun dan angin
alasan mengapa orang-orang memanggilku “Pohon” karena aku sangat baik dalam
menggambar pohon. Setelah itu, aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi
kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran
sebanyak 5 orang wanita ketika aku masih di SMA.Ada satu wanita yang aku sangat aku cintai, tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dia tidak memiliki wajah yang cantik, tubuh yang sexy, dan sebagainya. Dia sangat peduli dengan orang lain dan religius. Tapi dia hanya wanita biasa saja.
Aku menyukainya, sangat menyukainya, menyukai gayanya yang innocent dan apa adanya, kemandiriannya, aku menyukai kepandaiannya dan kekuatannya.
Alasan aku tidak mengajaknya kencan karena aku merasa dia yang sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku juga takut, jika kami bersama semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku juga takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Aku merasa dia adalah “sahabatku” dan aku akan memilikinya tiada batasnya dan aku tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.
Alasan yang terakhir, membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama 3 tahun ini. Dia tau aku mengejar gadis-gadis lain, dan aku telah membuatnya menangis selama 3 tahun.
Ketika aku mencium pacarku yang kedua, dan terlihat olehnya. Dia hanya tersenyum dengan berwajah merah dan berkata “lanjutkan saja…” dan setelah itu pergi meninggalkan kami. Esoknya, matanya bengkak, dan merah…
Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, but aku tertawa dengannya seharian. Ketika semuanya telah pulang, dia sendirian di kelas untuk menangis. Dia tidak tahu bahwa aku kembali dari latihan sepakbola untuk mengambil sesuatu di kelas, dan aku melihatnya menangis selama sejaman.
Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Pernah sekali mereka berdua perang dingin, aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku. Esoknya masih tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu bahwa dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia, aku juga sedih.
Ketika aku putus dengan pacarku yang ke-5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku. Aku cerita padanya tentang putusnya aku dengan pacarku dan dia berkata tentang dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang. Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik.
Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakitnya hatiaku, tapi hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika aku sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak namun tidak bisa.
Air mata mengalir dan aku jatuh menangis. Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang mengacuhkan kehadirannya.
Ketika upacara kelulusan, aku membaca SMS di handphone-ku. SMS itu dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis.
SMS itu berbunyi, “Daun terbang karena Angin bertiup atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?“
Selama SMA, aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku merasa bahwa daun membutuhkan banyak kekuatan untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali.
Selama 3 thn di SMA, aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi “Sahabat”. Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya, CEMBURU. Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan Lemon. Hal itu seperti 100 butir lemon busuk. Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi.
Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukaiku, but mengapa dia tidak mau mengatakannya? Sejak dia mencintaiku, mengapa dia tidak yang memulainya dulu untuk melangkah? Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku selalu sakit. Waktu berjalan dan berjalan, hatiku sakit.
Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tapi mengapa dia memperlakukanku dengan sangat baik di luar perlakuannya hanya untuk seorang teman?
Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati, aku tahu kesukaannya, kebiasaannya. Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau tidak mengharapkan aku sebagai seorang wanita untuk mengatakannya bukan?
Di luar itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya perhatian, menemaninya, dan mencintainya. Berharap, bahwa suatu hari, dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu telponenya setiap malam, mengharapkannya untuk mengirimku SMS. Aku tau sesibuk apa pun dia, dia pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu, aku menunggunya. 3 tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah. Kadang aku berpikir untuk tatap menunggu. Luka dan sakit hati, dan dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini.
Ketika diakhir tahun ke-3, seorang pria mengejarku, dia adalah adik kelasku, setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Dari penolakan yang telah dia tunjukkan, aku merasa bahwa aku ingin memberikan dia ruang kecil di hatiku.
Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Akhirnya, aku sadar bahwa aku tidak ingin memberikan Angin ini ruang yang kecil di hatiku.
Aku tau Angin ini akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik. Akhirnya aku meninggalkan Pohon. Tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal, aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.
“Daun terbang karena Angin bertiup atau Pohon tidak memintanya untuk tinggal?”
Karena aku menyukai seorang gadis bernama Daun, karena dia sangat bergantung pada Pohon, jadi aku harus menjadi Angin yang kuat.
Angin akan meniup Daun terbang jauh. Ketika aku pertama kalinya, ketika 1 bulan setelah aku pindah sekolah. Aku melihat seorang memperhatikan kami bermain sepakbola. Ketika itu, dia selalu duduk di sana sendirian atau dengan teman-temannya memerhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya. Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya. Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti daun yang suka melihat Pohon. Satu hari, dia tidak tampak, aku merasakan kehilangan.
Seniorku juga tidak ada saat itu, Aku pergi ke kelas mereka, melihat seniorku sedang memperhatikan daun. Air mata mengalir di mata daun ketika Pohon pergi, besoknya, aku melihat Daun di tempatnya yang biasa, memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Menulis catatan dan memberikan kepadanya. Dia sangat kaget.
Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima catatanku. Besoknya, dia datang, menghampiriku dan memberiku catatan. “Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi, hal itu karena Daun tidak mau meninggalkan Pohon.” Aku melihat ke arahnya dengan kata-kata tersebut dan pelan dia mulai berkata padaku dan menerima kehadiranku dan teleponku.
Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku. Selama 4 bulan, aku telah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya. Setiap kali dia mengalihkan pembicaraan… tapi aku tidak menyerah, aku memutuskan untuk memiliki dia dan berharap dia akan setuju menjadi pacarku.
Aku bertanya, “apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah membalas?” Dia berkata, “aku menengadahkan kepalaku”.
“Ah?” Aku tidak percaya apa yang aku dengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar