Pengaruh Kebudayaan
Islam Di Indonesia
Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono
Widyosiswoyo.Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu:
Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan pada
pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia. Jalur Utara adalah
masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke timur
lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut
menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya
yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman
personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat
mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah
salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.
Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah
Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam
menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi.
Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab jika
bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang Islam langsung
sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan kaum agama dalam
Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini.
Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo
merupakan pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh
pengaruhnya dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini
terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.
Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah
nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211
M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya
kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera
bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.
Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai
berdirinya sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku)
penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460. Di Demak, penguasanya
mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya
seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun
1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528,
Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa
(Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah
dikuasai penguasa Islam.
Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara
Islam yang sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk
dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai dirundung
konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim
Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya pada awal abad
ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung
antara aneka tipologi Islam. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang
dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.
1. Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad
ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India
(Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali,
ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam
lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan
masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam
paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu
dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan
Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para adipati
wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian
dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai
dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu
ataupun seterusnya – mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di
antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi,
terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para
pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka
mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan
mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui
upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima
keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam
dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka
berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan
pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam
nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar,
Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu,
ataupun Deli.
2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar
semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan
penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang
banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal
Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan
adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa
ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar